Enter your keyword

post

Silent Crisis: Saat Anak Kita Melemah dalam Membaca dan Menulis

Silent Crisis: Saat Anak Kita Melemah dalam Membaca dan Menulis

Penulis: Nurul Adha Al Khathiri (Fasilitator Sekolah Alam Bekasi)

Pagi itu, di sebuah ruangan kelas, seorang anak duduk di mejanya, pensil di tangan, kertas kosong di depan mata. Ia baru saja selesai bercerita dengan semangat tentang liburan ke pantai—tentang istana pasir yang berhasil ia bangun, ombak yang tiada henti mengejarnya, dan es krim yang mencair disengat terik matahari. Tapi tawanya seketika patah saat mendengar permintaan sederhana keluar dari mulut gurunya – tulislah pengalaman liburan. Tangan kecilnya nyaris tak bergerak, pandangannya berlarian ke kanan dan ke kiri pertanda gelisah seakan semua kata yang ia keluarkan barusan tidak pernah ada.


“Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Bu…” ungkapnya lirih.

Fenomena sederhana seperti ini mungkin sering kita temui. Anak-anak kita bisa bercerita panjang lewat lisan, tapi terbata-bata saat diminta menuangkannya lewat tulisan. Mereka bisa membaca kalimat, tapi sering tidak benar-benar memahami apa yang sedang mereka baca. Inilah krisis literasi yang tengah menyelinap diam-diam di sekitar kita — silent crisis yang sering luput dari perhatian.

Ketika Literasi Tak Lagi MENJADI KEBIASAAN

Banyak orang tua mungkin merasa: “Anak saya kan bisa baca dan tulis, berarti tidak ada masalah.” Padahal, literasi bukan sekadar bisa mengeja atau menulis huruf. Literasi adalah kemampuan memahami, merenungkan, dan mengekspresikan makna.

Anak-anak sekarang hidup dalam arus informasi serba cepat: video pendek, pesan singkat, gambar bergerak. Semua serba instant. Akibatnya, mereka jarang dilatih untuk membaca dengan pelan dan memahami isi bacaan, menulis dengan runtut dan penuh makna, serta menikmati proses berpikir yang tenang.


Perubahan kebiasaan ini pelan tapi pasti melemahkan daya baca dan daya tulis anak – bukan karena mereka tidak cerdas, tetapi karena mereka jarang berlatih mendalami sesuatu.

Membaca dan Menulis: FONDASI YANG Mulai Runtuh

Kemampuan membaca dan menulis bukan sekadar pelajaran bahasa di sekolah. Ia adalah fondasi berpikir; dengan membaca anak akan terlatih menyerap ide dan melihat dunia lebih luas, dengan menulis anak cenderung mengolah pikirannya menjadi bentuk yang terstruktur. Sebaliknya, ketika anak kehilangan keduanya, dampaknya meluas:

  • Kurang fokus dalam pelajaran,
  • Tidak terbiasa menyusun argumen,
  • Rentan percaya pada informasi mentah,
  • Kesulitan menyampaikan ide dengan percaya diri.

Ini bukan masalah kecil. Ini adalah tanda rapuhnya pondasi berpikir yang akan mereka bawa ke masa depan.

Krisis yang Tak Terlihat, TAPI NYATA

Hasil dari Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 menunjukkan bahwa kemampuan literasi anak-anak Indonesia masih berada di bawah rata-rata global. Banyak anak memang bisa membaca kata, tetapi tidak benar-benar memahami makna di baliknya. Mereka mampu mengeja, tetapi kesulitan mengurai isi bacaan menjadi pemahaman.


Di sisi lain, kebiasaan menulis pelan-pelan tersingkir oleh budaya komunikasi yang serba cepat dan instan—emoji menggantikan kalimat, video menggantikan teks, dan suara menggantikan imajinasi.

Literasi dalam Pandangan Islam

Islam menempatkan literasi sebagai pintu pertama peradaban. Bahkan, wahyu pertama yang Allah turunkan bukan perintah shalat ataupun berperang, melainkan:

“Iqra’ (Bacalah) dengan (menyebut) nama Tuhamu yang menciptakan.” (QS. Al-‘Alaq: 1)

Membaca — dalam makna yang luas – adalah perintah untuk mengenali, memahami, dan berpikir. Menulis menjadi perpanjangan dari proses itu, agar pengetahuan tidak hanya berhenti di kepala, tapi mengalir menjadi amal dan peradaban. Kebiasaan membaca dan menulis bukan sekadar keterampilan, tapi bentuk ketaatan terhadap perintah ilmu.

Peran Orang Tua: Awal dari SEMUA PERUBAHAN

Sekolah bisa memberi pelajaran, tetapi rumahlah yang membentuk kebiasaan. Anak-anak belajar mencintai buku bukan karena perintah, tetapi karena mereka melihat orangtuanya membaca. Mereka mulai menulis bukan karena tugas, tapi karena ada ruang aman untuk bercerita.


Barangkali, upaya-upaya kecil seperti memberi anak kesempatan membaca selama 10-15 menit secara konsisten setiap harinya, atau mengajak anak untuk menuliskan pengalaman hariannya di sebuah buku catatan khusus dapat memberikan ruang pertemuan antara anak dengan tulisan. Literasi bukan soal siapa yang paling pandai. melainkan siapa yang membiasakan diri lebih dulu.

Kesadaran Ini Harus dimulai sekarang

Kita tidak bisa menahan derasnya arus digital, tapi kita bisa memperkuat akar anak-anak kita agar tidak hanyut di dalamnya. Kita bisa menciptakan lingkungan kecil di rumah tempat mereka belajar mencintai kata, makna, dan proses berpikir yang pelan tapi dalam.


Krisis literasi ini mungkin silent, tapi dampaknya tidak akan diam. Mari mulai dari rumah, dari satu cerita, dari satu halaman buku, dari satu kalimat tulisan anak kita sendiri.


Sumber:

  1. Jelly Ulita Tamsar, Pentingnya Literasi bagi Generasi Masa Depan (Universitas Sumatera Utara,t.t.), hlm. 3.
  2. Lela Lestari dan Zaka Hadikusuma Ramadan, “Faktor Penyebab Kesulitan Membaca dan Dampaknya Terhadap Proses Pembelajaran Siswa Kelas II Sekolah Dasar,” Didaktika: Jurnal Kependidikan 13, no. 001 (Desember 2024): 114, https://jurnaldidaktika.org.
  3. Studi PISA 2022: Skor Literasi Membaca Indonesia Catatkan Rekor Terendah Sejak Tahun 2000 – GoodStats.
  4. Iqra’: Perintah Membaca sebagai Gerbang Menuju Tauhid dan Sains dalam Risalah Para Nabi – MAJELIS TABLIGH
  5. Drs. Kholid A. Harras, Modul 1: Hakikat dan Proses Membaca, UT (Universitas Terbuka), t.t., hlm. 1.9, https://pustaka.ut.ac.id/lib/wpcontent/uploads/pdfmk/PBIN4108-M1.pdf.